Izhar Soroti Berbagai Isu Jelang Pemilu Tahun Depan

Pontianak - update24jam.id

Dinamika Politik Nasional menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 semakin ramai, seiring dengan aksi-reaksi yang terjadi di antara kekuatan yang akan memasuki gelanggang pertarungan.

Membaca situasi terkini, ragam kekuatan sudah mulai terkonsolidasi. Pengujung tahun ini dan awal tahun depan akan menjadi salah satu fase tersibuk partai politik termasuk bakal calon eksekutif dan legislatif.

Selain harus bersiap dengan tahapan pemilu, juga harus intens membangun komunikasi politik lintas kekuatan guna mematangkan pengusungan Kepala dan Wakil Kepala Daerah yang akan menjadi kandidat resmi di Pilkada 2024. Kesalahan dalam memosisikan diri dan membuat keputusan akan berdampak pada peta kuasa mereka di masa mendatang.

Pada tahap ini, opini masih sangat acak, tak menentu, dan publik mulai ramai memperbincangkannya. Di fase ini, semua yang berkeinginan menjadi Kepala ataupun Wakil Kepala Daerah umumnya memunculkan diri dalam beragam cara. Ada yang tebar pesona lewat medsos, baliho, videotron, bingkai berita media, ataupun karya nyata lewat jabatannya.

Tahap pemunculan ini pastinya dikelola oleh mereka yang mau menjadi Kepala dan Wakil Kepala Daerah melalui basis struktur partai, tim sukarelawan, konsultan, lembaga survei, ataupun jurnalis media massa dan warganet di media sosial.

Berbagi opini publik telah membentuk pola. Opini terkonsolidasi pada mereka yang pro ataupun kontra. Masyarakat mengonsolidasikan diri menjadi pendukung, penentang, ataupun pihak yang belum menentukan pilihan.

Jika melihat tren belakangan, berbagai survei opini publik oleh sejumlah lembaga survei menguatkan beberapa nama sebagai figur paling potensial untuk masuk ke gelanggang pertarungan. Sebagai contoh, jajak pendapat.

Ada proses konstruksi yang menarik perhatian kemudian bisa dikonversikan menjadi hasrat, ketertarikan, penerimaan, dan dukungan, tetapi juga tak sedikit yang hanya direspons ala kadarnya oleh publik. 

Benang merah gagasan untuk mengatasi persoalan kebangsaan saat ini dan ke depan harus diresonansikan. Kepaduan antara narasi dan karakter pembawa narasi juga sangat menentukan. Pun demikian titik temu antara narasi dan kebenaran faktual yang terjadi di masyarakat, akan membuat kandidat, baik Kepala atupun Wakil Kepala Daerah maupun partai politik, layak dipertimbangkan sebagai bagian dari solusi bangsa.

Kedua, terhubung dengan konvergensi simbolik elite dengan publik. Opini publik itu awalnya kerap bertebaran secara acak dalam konstruksi personal ataupun konstruksi kelompok. Bahkan, jika tak dikelola, opini publik bisa menyerupai gelembung yang memenuhi media dan lini masa media sosial, tetapi saat mau diraih pecah dan raib tak berbekas.

Salah satu hal terpenting yang dimiliki politisi adalah kemampuan menakar diri. Jika publik sudah benderang tak menghendakinya, buat apa memaksakan diri masuk ke gelanggang pertarungan.

Izhar Pemuda Kalimantan Barat menyoroti berbagai isu yang terjadi jelang Pemilu 2024 yang akan digelar pada tahun depan.

Ia mengatakan, pada dasarnya Pemilu 2024 menggunakan payung hukum yang sama dengan Pemilu 2019, yakni UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pilkada mengacu pada UU No. 10 Tahun 2016 (UU No 6 Tahun 2020). Namun, perbedaan mendasar terletak pada transformasi digital, dimana teknologi rekapitulasi suara menjadi kebutuhan terpenting.

“Sehingga tidak ada pergeseran suara karena rekapitulasi manual membutuhkan rentang waktu yang cukup lama setelah Pemilu berlangsung,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Indotimenews, Minggu (11/06/2023).

Selain itu, KPU juga menerapkan transformasi digital sebagai transparansi publik. Antara lain melalui Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL), aplikasi Sistem Informasi Data Pemilih (SIDALIH), dan sebagainya.

*Pemilih muda mendominasi*

Selain itu, Pemilu 2024 mungkin akan didominasi oleh pemilih muda, yang proporsinya diperkirakan akan cukup tinggi. Izhar mengatakan, pemilih muda ini erat hubungannya dengan media sosial, yang menjadi salah satu sarana distribusi informasi mengenai Pemilu hingga kampanye.

“Namun belum ada mitigasi risiko-risiko di media sosial, seperti disinformasi dan transparansi sehingga dibutuhkan penanganan terkait penangkalan disinformasi,” lanjutnya.

*Literasi digital perlu ditingkatkan*

Izhar mengakui, disinformasi, hoaks, dan polarisasi melalui media sosial akan
menjadi tantangan terbesar Indonesia di masa Pemilu. Oleh karenanya, perlu adanya literasi digital sebagai solusi mengikat untuk mendorong adanya ekosistem digital yang demokratis.

Dalam meningkatkan literasi digital, perlu adanya sistematika pemberantasan konten penyebaran informasi, forum diskusi yang menggaet semua pihak terkait, kolaborasi bersama masyarakat sipil dengan platform media sosial, menganalisis disinformasi di Pemilu 2024, dan sistem pelaporan hoaks yang jelas. Hal terpenting dari Pemilu 2024 adalah partisipasi dari pemilih yang mampu memilih informasi secara cerdas saat kampanye berlangsung.

“Narasi yang memecah belah dan menjatuhkan akan menjadi clue utama dalam mengidentifikasi hal ini. Politik identitas menjadi mobilisasi politik untuk membangun sentimen emosional sehingga menjadikan pemilih muda komoditas politik yang terombang-ambing kepada kandidat tertentu. Oleh karena itu, kita harus bisa menganalisis hal ini,” tutupnya.

Peru - update24jam.id